Halaman

Jumat, 24 Februari 2012

BENTENG MADANG



Benteng Gunung Madang



Demang Lehman




Oleh: Drs. H. Ramli Nawawi

Benteng Madang terletak di Desa Madang Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan). Jarak antara Desa Madang dengan Banjarmasin sekitar 140 km.

Benteng Madang dibangun seiring dengan pecahnya Perang Banjar melawan penjajah Belanda di Bumi Lambung Mangkurat. Benteng ini terdapat di atas Gunung Madang salah satu dari bagian Pegunungan Meratus. Tempat tersebut sangat strategis untuk pertahanan, karena bila kita berada di tempat tersebut, maka daerah sekeliling dapat terlihat dengan mudah. Benteng tersebut dikelilingi oleh hutan semak belukar di sana–sini ditumbuhi bambu. Gunung Madang identik dengan Benteng Madang dengan luas sekitar 400 m2.

Di kaki Gunung Madang terdapat aliran-aliran sungai yang di tepinya banyak ditumbuhi ilalang dan pohon bambu. Pada aliran-aliran sungai yang mendekati tempat penyeberangan diadakan titian atau jembatan-jembatan yang apabila diinjak titian ini bergerak, dan kalau jatuh besar kemungkinan tertusuk benda tajam yang sengaja dipasang oleh pejuang-pejuang Antaludin. Akibatnya tidak hanya luka-luka bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian. Masyarakat menyebutnya sebagai “jembatan serongga”.

Jembatan-jembatan tersebut sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang Antaludin agar apabila musuh ingin memasuki daerah Gunung Madang akan terhalang atau mudah diketahui. Untuk memperkokoh pertahanan Benteng Madang diberi perlindungan dari pepohonan agar gelap di sang hari.

Pada bagian lain dibuat jalan rahasia untuk keluar pabila kemungkinan seangan musuh bisa tembus. Konon pernah serdadu Belanda mengadakan penjajakan untuk melihat dari dekat keadaan Benteng Madang, tetapi mereka tidak melihat apa-apa kecuali hutan semak belukar. Keadaan yang ganjil ini membuat serdadu Belanda penasaran. Sehingga suatu waktu tempat tersebut ditembaki oleh serdadu Benda dari jarak jauh. Ketika para serdadu Belanda tersebut kelelahan dan kehausan, mereka meminta air kelapa muda kepada masyarakat, tetapi yang terjadi setelah mereka meminum semua sakit perut dan ada yang meninggal.

Taktik gerilya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Antaludin membuat pemerintah kolonial Belanda kebingungan dan putus asa. Banyak serdadu Belanda yang terbunuh. Para pejuang Antaludin tidak pernah menyerah dan Benteng Madang tidak pernah direbut Belanda. Baru ketika benteng tersebut ditinggalkan oleh pejuang-pejuang Antaludin untuk bergerilya ke berbagai lokasi pertempuran, tentara Belanda menemukan tempat kosong setelah dengan susah payah berusaha mengepung untuk merebutnya.

Sejarah telah mencatat Perang Banjar dimulai sejak penyerangan terhadap tambang batu bara Belanda Oranye Nassau di Desa Pengaron yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dengan mengerahkan pasukan Muning pimpinan Sultan Kuning. Peristiwa ini terjadi pda tanggal 28 April 1859. Pangeran Hidayat memerintahkan kepada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat penyerangan terhadap tambang batu bara Oranye Nassau milik Belnda tersebut.

Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan massa lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Kemudian serentak rakyat Banjar bangkit mendukung perjuangan Pangeran Antasasri untuk mengusir Belanda dari tanah Banjar. Selanjutnya Perang Banjar berlangsung sampai dengan tahun 1904, suatu peperangan yang sangat melelahkan karena tergolong perang kolonial yang paling lama di Indonesia.

Pangeran Antasari dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaludin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Benteng Madang dibangun di sebuah puncak gunung di Desa Madang. Bangunan benteng dari bahan kayu madang yang ada di sekitarnya serta pagar hidup dari pohon bambu dengan luas kurang lebih 400m2 bertingkat dua, agar mudah mengintai musuh dari bagian teratas.




Benteng ini diberi perlindungan agar gelap pada siang hari dan dibuat jalan rahasia untuk keluar. Hal ini untuk memperkuat pertahanan dan tentara Belanda sulit merebut tempat ini. Tercatat ada lima kali serangan Belanda terhadap benteng ini.

Tanggal 3 September 1860 terjadi serangan mendadak oleh pasukan infantri Belanda sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda bergerak dari Benteng Amawang Belanda menyelusuri Desa Karang Jawa dan Desa Ambarai langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu terjadi serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya. Sehingga serdadu Belanda mundur kembali ke benteng Amawang di Kandangan.

Tanggal 4 September 1860 pasukan infantri Belanda dari batalyon ke 13 melakukan serangan kedua kalinya. Pasukan Belanda dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian (nara pidana) untuk membawa perlengkapan perang yang dijadikan umpan dalam pertempuran. Serdadu Belnda melemparkan 3 geranat tetepi tidak berbunyi dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Ketka Letnan De Bouw dan Sersan De Varies menaki Gunung Madang hanya diikuti serdadu bangsa Belanda, sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur. Dalam pertempuran Letnan De Brouw kena tembak di paha, sehingga serdadau Belanda mundur dan kembali ke Benteng Amawang.

Tanggal 13 September 1860 serangan ketiga Belanda terhadap Benteng Madang dipimpin oleh Kapten Koch dengan bantuan serdadu Belanda dari Banjarmasin dan Amuntai. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin dengan gagah berani menghadapinya. Disaat bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Pasukan Belanda dan Kapten Koch kembali mundur ke Benteng Amawang. Kegagalan serangan ketiga ini membuat belanda sangat malu karena tersebar sampai ke Banjarmasin.

Tanggal 18 September 1860 serangan Belanda yang keempat dipimpin oleh Mayor Schuak dengan pasukan infantri batalyon ke 13 yang terdiri dari beberapa opsir bangsa Belanda, dibantu oleh Kapten Koch dengan membawa sebuah heuwitser, sebuah meriam berat dan morter. Menjelang pukul11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. Letnan Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya kena tembak oleh anak buah Tumenggung Anataludin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Dengan bergegas pasukan Belanda menggotong tubuh Kapten Koch dan meninggalkan medan pertempuran, mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang.

Setelah serangan keempat ini gagal Belanda mempersipkan kembali untuk penyerangan yang kelima. Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin juga mempersipkan siasat dan strategi untuk menghadap serangan besar-besaran Belanda dengan keluar dan tidak berpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari pasukan Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari Gunung Pamaton.

Tanggal 22 September 1860 Belanda dengan persiapan teliti, belajar dari kegagalan dan beberapa kali dipermalukan dari empat kali serangan, Belanda mempersiapkan bidak-bidak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan Benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi esok harinya dengan tembakan meriam dan lemparan geranat. Menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin mengadakan serangan besar-besaran dengan berbagai jenis senapan yang dimiliki. Pertempuran berkobar hingga menjelang subuh. Karena pertempuran berlangsung di malam hari yang gelap gulita pasukan Belanda kehilangan komando. Situasi yang tegang ini digunakan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin beserta pasukannya untuk keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng dan selanjutnya berpencar. Suatu strategi yang dilakukan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin utuk menghindari kehancuran pasukannya. Sementara Kiai Cakrawati dan pasukannya juga berhasil meneruskan perjalanan menuju Gunung Pamaton.



Sementara itu dengan hati-hati pasukan Belanda memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin, tetapi alangkah kecewanya Belanda ternyata benteng sudah kosong dan hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.

Demikian lah sejarah singkat Benteng Madang, sebuah tempat pertahanan para pejuang Perang Banjar di daerah Hulu Sungai Selatan (Kandangan) dalam menghadapi pasukan Belanda. Pada dasarnya benteng tersebut tidak berhasil direbut Belanda karena Benteng Madang ditinggalkan oleh pejuang Banjar kemudian melanjutkan perlawanan berikutnya ditempat lain yang lebih strategis. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin sampai akhir hayatnya tidak pernah menyerah kepda Belanda

Dengan susah payah, biaya yang besar dan dengan perang yang melelahkan serta banyaknya korban, Belanda sangat malu dan dikecewakan karena benteng yang akan direbut tidak lebih hanyalah tempat kosong belaka.

Sekarang lokasi situs Benteng Madang tetap terpelihara, sebagai situs sejarah dengan juru peliharanya. Bila sejarah adalah pertangungjawaban masa silam, maka situs Benteng Madang dengan segala kejadiannya merupakan saksi sejarah bahwa di sini di bumi Banjar telah terjadi suatu peristiwa kepahlawanan untuk melawan kolonial Belanda.

Pejuang Banjar di sini secara konsekwen dan konsesten memegang prinsip “HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING”. Suatu slogan dalam kehidupan orang Banjar dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang.

Selasa, 24 Januari 2012

Perang Bali

Perang Bali tahun 1846-1849

Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.

Apakah faktor yang menyebabkan timbulnya perang Bali antara tahun 1846- 1849? Masalah utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.

Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.

Bagaimana jalannya perang Bali? Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik.
Perang Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah benteng di desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan mengapa?
Karena perang dijiwai oleh semangat puputan yaitu perang habis-habisan. Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
- Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
- Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh.
- Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.

Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.

Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan 2265 serdadu mendarat di Sangsit. Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat digagalkan.

Setelah gagal, bagaimana upaya Belanda untuk menundukkan Bali? Pada tanggal 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara. Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.

Perang Aceh


PERANG ACEH


Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya.
Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur.
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (Korte Verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.
Mirza Saputra (Lomba Menulis Sejarah Aceh)

Sabtu, 21 Januari 2012

Perang Banjar (1895-1905)

Perang Banjar adalah merupakan satu cetusan di dalam rangkaian perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Indonesia. Perang ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan utamanya pada abad ke-19, seperti peristiwa – peristiwa yang hampir bersamaan kasusnya di daerah – daerah lain di Indonesia, misalnya di Minangkabau dengan perang Padrinya, di Jawa dengan perang Diponegoro-nya, perang Bali, perang Aceh dan sebagainya.


Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah telah terjadi sejak kedatangan bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia dengan berbagai dalih yang dilakukannya demi untuk mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya.

Pertentangan pertama antara Belanda dengan kerajaan Banjar, dalam hal ini Penambahan Marhum di satu pihak dan Belanda di lain pihak telah terjadi pada tanggal 14 Februari tahun 1606 dengan terbunuhnya nakhoda kapal Belanda Gillis Michielzoon beserta anak buahnya di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara mendadak telah menyerang dengan melakukan penembakan dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan demikian pusat pemerintahan kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke Martapura, ke kraton baru yang terkenal dengan sebutan Kayu Tangi.

Pertikaian bersenjata menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar Anyar telah terbunuh 64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan. Untuk pembalasan terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin dan Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau anak-anak suku Banjar, tanpa perikemanusiaan. Kekejaman ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak tahun 1600 sampai abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu terjadi pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan Portugis, Belanda dan Inggris.




Ketika Sultan Muhammad meninggal dunia pada tahun 1761, ia meninggalkan 3 (tiga) orang anak yang belum dewasa, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Karena ketiga orang anak Sultan Muhammad itu belum dewasa, maka tahta kerajaan kembali ke tangan Mangkubumi, yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran Sepuh, dan pelaksanaan pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran Nata. Dengan jalan menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran Rahmat dan Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata sebagai Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin.

Pangeran Nata Dilaga yang Menjadi raja pertama dinasti Tamjidillah dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772.

Anak Sultan Muhammad (almarhum) yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Tahmidillah melarikan diri ke Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe. Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kerajaan Banjar dengan pasukan Bugis yang besar, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sailan. Sesudah itu diadakan perjanjian antara kerajaan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC.

Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putera Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat Kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.

Negeri hilang sama sekali, Kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik Belanda.
Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
a. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
b. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
- Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
- Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Pantuil,
- Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
- Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah,
- Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak,
- Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan,
- Tanah Dayak Besar Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya,
- Tanah Mandawai,
- Sampit,
- Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya,
- Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
- Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan,
- Negeri-negeri di pesisir timur Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
c. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
d. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
e. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Padang perburuan itu, meliputi :
- Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka,
- Padang Bajingah,
- Padang Penggantihan,
- Padang Munggu Basung,
- Padang Taluk Batangang,
- Padang Atirak,
- Padang Pacakan,
- Padang Simupuran,
- Padang Ujung Karangan.

Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya berburu manjangan.
f. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.

Gambaran umum abad ke-19 bagi kerajaan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdauat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.

Download Versi TXT