Perang Banjar adalah merupakan satu cetusan di dalam rangkaian
perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Indonesia.
Perang ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan
utamanya pada abad ke-19, seperti peristiwa – peristiwa yang hampir
bersamaan kasusnya di daerah – daerah lain di Indonesia, misalnya di
Minangkabau dengan perang Padrinya, di Jawa dengan perang
Diponegoro-nya, perang Bali, perang Aceh dan sebagainya.
Perlawanan
bangsa Indonesia terhadap penjajah telah terjadi sejak kedatangan
bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia dengan berbagai dalih yang
dilakukannya demi untuk mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya.
Pertentangan
pertama antara Belanda dengan kerajaan Banjar, dalam hal ini
Penambahan Marhum di satu pihak dan Belanda di lain pihak telah terjadi
pada tanggal 14 Februari tahun 1606 dengan terbunuhnya nakhoda kapal
Belanda Gillis Michielzoon beserta anak buahnya di Banjarmasin. Dalam
rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan beberapa kapal Belanda pada
tahun 1612 secara mendadak telah menyerang dengan melakukan penembakan
dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan demikian pusat pemerintahan
kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke Martapura, ke kraton baru yang
terkenal dengan sebutan Kayu Tangi.
Pertikaian bersenjata
menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar Anyar telah terbunuh
64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan. Untuk pembalasan
terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin dan
Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan
penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan
menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau
anak-anak suku Banjar, tanpa perikemanusiaan. Kekejaman ini tidak mudah
dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak tahun 1600 sampai
abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu terjadi
pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan Portugis,
Belanda dan Inggris.
Ketika
Sultan Muhammad meninggal dunia pada tahun 1761, ia meninggalkan 3
(tiga) orang anak yang belum dewasa, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran
Abdullah dan Pangeran Amir. Karena ketiga orang anak Sultan Muhammad
itu belum dewasa, maka tahta kerajaan kembali ke tangan Mangkubumi,
yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran Sepuh, dan pelaksanaan
pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran Nata. Dengan jalan
menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran Rahmat dan
Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan kekuasaan
pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata sebagai
Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin.
Pangeran Nata
Dilaga yang Menjadi raja pertama dinasti Tamjidillah dalam masa
kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada
tahun 1772.
Anak Sultan Muhammad (almarhum) yang bernama Pangeran
Amir, atau cucu Sultan Tahmidillah melarikan diri ke Pasir, dan
meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe. Pangeran Amir
kemudian kembali dan menyerbu Kerajaan Banjar dengan pasukan Bugis yang
besar, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam.
Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di
bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada
VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman
dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan
Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke Pasir. Beberapa waktu
kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para
bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda,
karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC.
Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke
Sailan. Sesudah itu diadakan perjanjian antara kerajaan Banjar dengan
VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah
VOC.
Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara
Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian
dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda
dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putera
Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat Kerajaan dalam
bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya
Perang Banjar.
Negeri hilang sama sekali, Kekuasaan ke dalam
tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai
agen politik Belanda.
Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
a. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
b.
Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah
menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Belanda. Wilayah-wilayah
itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
- Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
- Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Pantuil,
-
Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur Rantau Keliling dengan
sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang
Pulau Tatas.
- Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah,
- Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak,
-
Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai
Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala
Marabahan,
- Tanah Dayak Besar Kecil dengan semua desa-desanya kiri
kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang
takluk padanya,
- Tanah Mandawai,
- Sampit,
- Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya,
- Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
-
Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan Timur
sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik
sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur
Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan,
- Negeri-negeri di pesisir timur Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
c. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
d. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
e.
Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi,
diserahkan pada Belanda. Padang perburuan itu, meliputi :
- Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka,
- Padang Bajingah,
- Padang Penggantihan,
- Padang Munggu Basung,
- Padang Taluk Batangang,
- Padang Atirak,
- Padang Pacakan,
- Padang Simupuran,
- Padang Ujung Karangan.
Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya berburu manjangan.
f.
Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga
intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang
lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu,
sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad
ke-19 bagi kerajaan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana
yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah
hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam
tetap utuh, tetap berdauat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.
Download Versi TXT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar